BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembangunan
kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah kesehatan untuk
hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Masalah kesehatan dapat dipengaruhi oleh pola hidup, pola makan,
lingkungan kerja, olahraga dan stres.
Perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan meningkatnya
prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus (DM) dan lain-lain (Waspadji, 2009).
Diabetes Melitus merupakan penyakit
menahun yang ditandai oleh kadar gula darah yang tinggi dan gangguan
metabolisme pada umumnya, yang pada perjalanannya bila tidak dikendalikan
dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi baik yang akut maupun yang
menahun. Kelainan dasar dari penyakit ini ialah kekurangan hormon insulin yang
dihasilkan oleh pankreas, yaitu kekurangan
jumlah dan atau dalam kerjanya ( Isniati,2003).
Jumlah Penderita diseluruh dunia Jumlah penderita di seluruh dunia tahun
1998 yaitu ± 150 juta, tahun 2000 yaitu ± 175,4 juta
diperkirakan tahun 2010 yaitu ± 279 juta (Murwani, 2007).
Berdasarkan
Riskesdas 2007 , Prevalensi penyakit DM
di Indonesia berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 0,7% sedangkan
prevalensi DM (D/G) sebesar 1,1%. Data ini menunjukkan cakupan diagnosis DM
oleh tenaga kesehatan mencapai 63,6%, lebih tinggi dibandingkan cakupan
penyakit asma maupun penyakit jantung. Prevalensi nasional Penyakit Diabetes
Melitus adalah 1,1% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala).
Menurut
konsensus Pengelolaan Diabetes melitus di Indonesia penyuluhan dan perencanaan
makan merupakan pilar utama penatalaksanaan DM. Oleh karena itu perencanaan
makan dan penyuluhannya kepada pasien DM haruslah mendapat perhatian yang besar
(Waspadji, 2009).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Diabetes
Mellitus Tipe 2?
2.
Bagaimana
patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
3.
Apa
saja etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2?
4.
Bagaimana
gambaran klinis Diabetes Mellitus Tipe 2?
5.
Bagaimana mendiagnosa Diabetes
Mellitus Tipe 2?
6.
Apa
saja faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2?
7.
Bagaimanakan
strategi penanggulangan Diabetes
Mellitus Tipe 2?
8.
Bagaimana
upaya pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2?
9.
Bagaimana
upaya penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2?
C. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini
diharapkan dapat memberi manfaat berupa :
- Menambah pengetahuan tentang konsep terjadinya DM secara multicause
- Memberi
informasi kepada masyarakat khususnya kaum pembaca terlebih
bagi penulis sendiri dalam upaya penanggulangan DM
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA DIABETES MELITUS TIPE 2
A.
Pengertian Diabetes Mellitus Tipe 2
Dalam DM Tipe 2, pankreas
dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu
untuk memanfaatkan secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah
meningkat
(Adhi, 2011). Diabetes
mellitus sebelumnya dikatakan diabetes tidak tergantung insulin atau
diabetes pada
orang dewasa. Ini adalah istilah yang digunakan untuk individu yang relatif terkena
diabetes (bukan yang absoult) defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya
resisten terhadap insulin. Ini
adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka waktu yang lama karena
hiperglikemia ini sering tidak berat cukup untuk memprovokasi gejala nyata dari
diabetes. Namun demikian, pasien tersebut adalah risiko peningkatan
pengembangan komplikasi macrovascular dan mikrovaskuler (WHO,1999). Faktor yang diduga
menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah
adanya kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor
lingkungan dan faktor makanan (Tjekyan, 2007).
B. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada
DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin
yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap
pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 adalah
sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan
insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin
sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi
insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan
produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa
meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin
akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase
1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak
terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa.
Pada kadar glukosa darah puasa 80-140
mg/dl kadar insulin puasa meningkat
tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar
insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi
kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa
dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi glukosa
hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati
makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain menurunnya massa
sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel
beta dan efek toksik glukosa (glucose
toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan
jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat dipertahankan sedangkan pada
sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam beberapa tingkatan.
Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin
tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang
lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom
yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi insulin
berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata
dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya
aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan
perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).
C. Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang
progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan Diabetes Mellitus
tak tergantung insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. NIDDM
ditandai dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja
insulin. Pada awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-sel sasaran
terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular
yang meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-pasien
dengan NIDDM terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive
insulin pada membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks
reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi insulin,
tetapi pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang beredar
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien NIDDM
mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka
kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes mellitus yang pada
akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat dari obesitasnya.
Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam
sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa (Rakhmadany,2010).
D. Gambaran Klinis
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu
mendapat perhatian ialah (Agustina, 2009):
Keluhan
Klasik
a.
Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam
waktu relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa
dalam darah tidak dapat masuk ke dalam
sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan
hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan
otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi
kurus.
b.
Banyak kencing
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang
tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah
banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.
c. Banyak minum
Rasa haus sering dialami oleh penderita
karena banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering
disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban
kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.
c.
Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah
dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan,
penderita selalu merasa lapar.
Keluhan lain:
a.
Gangguan saraf tepi / Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan
terutama pada kaki di waktu malam, sehingga mengganggu tidur. Gangguan
penglihatan Pada fase awal penyakit Diabetes sering dijumpai gangguan
penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali
agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
b.
Gatal / Bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi
di daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah
payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya.
Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu
atau tertusuk peniti.
c. Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah
tersembunyi karena sering tidak secara terus terang dikemukakan penderitanya.
Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan
masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.
d.
Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan
keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala
yang dirasakan.
E. Diagnosa Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam menegakkan diagnosis DM harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai
(Shahab,2006).
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada
kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu:
1)
Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2)
Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
3)
Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmhg)
4)
Riwayat keluarga DM
5)
Riwayat kehamilan dengan bb lahir bayi > 4000 gram
6)
Riwayat dm pada kehamilan
7)
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
8)
Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah
puasa terganggu)
Tabel 1.
Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
|
|||
|
Bukan DM
|
Belum pasti DM
|
DM
|
Plasma Vena
|
<
110
|
110
– 199
|
≥200
|
Darah Kapiler
|
<
90
|
90
- 199
|
≥200
|
Kadar glukosa darah puasa
|
|||
|
Bukan DM
|
Belum pasti DM
|
DM
|
Plasma Vena
|
<
110
|
110
– 125
|
≥126
|
Darah Kapiler
|
<
90
|
90
- 109
|
≥110
|
Sumber : Perkeni, 2006
Keterangan:
*metode enzimatik
b. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan
bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia
pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan
diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil
tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1985
1)
3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
2)
Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
3)
Puasa semalam, selama 10-12 jam
4)
Kadar glukosa darah puasa diperiksa
5)
Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam air 250
ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
6)
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama
pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
istirahat dan tidak merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
1)
Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau
2)
Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti
tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau
3)
Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO**
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi
ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun
cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak
dipakai rutin diklinik
F. Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Adapun Faktor resikonya yaitu (Rakhmadany,
2010):
§ Unchangeable Risk
Factor
1.
Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun
menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes mellitus, karena kelainan gen
yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat
menghasilkan insulin dengan baik.
2.
Usia
Umumnya manusia mengalami
perubahan fisiologis yang secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40
tahun. Diabetes sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama
setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga
tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin.
§ Changeable risk
factor
1.
Stress
Stress
kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang manis-manis dan
berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak. Serotonin ini memiliki
efek penenang sementara untuk meredakan stress, tetapi gula dan lemak itulah
yang berbahaya bagi mereka yang beresiko terkena diabetes mellitus.
2.
Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan
keduanya meningkatkan resiko terkena diabetes mellitus. Kurang gizi
(malnutrisi) dapat merusak pankreas, sedangkan berat badan lebih (obesitas)
mengakibatkan gangguan kerja insulin ( resistensi insulin).
3. Minimnya
Aktivitas Fisik
Setiap
gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan mengeluarkan tenaga dan energi,
yang biasa dilakukan atau aktivitas sehari-hari sesuai profesi atau pekerjaan.
Sedangkan faktor resiko penderita DM adalah mereka yang memiliki aktivitas
minim, sehingga pengeluaran tenaga dan energi hanya sedikit.
4. Obesitas
80% dari
penderita NIDDM adalah Obesitas/gemuk.
5. Merokok
Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis
25 kajian yang menyelidiki hubungan antara merokok dan diabetes yang disiarkan
antara 1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta yang ditelusuri selama
30 tahun. Mereka mendapati resiko bahkan lebih tinggi
bagi perokok berat. Mereka yang menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari
memiliki resiko terserang diabetes 62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang
yang tidak merokok. Merokok
dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap insulin, kata para peneliti
tersebut. Itu berarti merokok dapat mencampuri cara
tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin biasanya mengawali
terbentuknya Diabetes tipe 2.
6.
Hipertensi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi
berhubungan dengan resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem
renin-angiotensin dan konsekuensi metabolik yang meningkatkan morbiditas.
Abnormalitas metabolik berhubungan dengan peningkatan diabetes mellitus pada
kelainan fungsi tubuh/ disfungsi endotelial. Sel endotelial mensintesis
beberapa substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur fungsi pembuluh darah.
BAB III
PENANGGULANGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2
A.
Strategi
Penanggulangan Diabetes
Mellitus Tipe 2
Adapun stategi penanggulangannnya sebagai berikut (Moh Joeharno,2009):
1. Primordial prevention
Primordial
prevention merupakan upaya untuk mencegah terjadinya risiko atau mempertahankan
keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum. Pada
upaya penanggulangan DM, upaya pencegahan yang sifatnya primordial adalah :
a.
Intervensi terhadap pola makan
dengan tetap mempertahankan pola makan masyarakat yang masih tradisional dengan
tidak membudayakan pola makan cepat saji yang tinggi lemak,
b.
Membudayakan kebiasaan puasa senin
dan kamis
c.
Intervensi terhadap aktifitas
fisik dengan mempertahankan kegiatan-kegiatan masyarakat sehubungan dengan
aktivitas fisik berupa olahraga teratur (lebih mengarahkan kepada masyarakat
kerja) dimana kegiatan-kegiatan masyarakat yang biasanya aktif secara fisik
seperti kebiasaan berkebun sekalipun dalam lingkup kecil namun dapat bermanfaat
sebagai sarana olahraga fisik.
d.
Menanamkan kebiasaan berjalan kaki
kepada masyarakat
2.
Health promotion
Health
promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi kepada masyarakat
sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada upaya pencegahan DM, tindakan
yang dapat dilakukan adalah :
a.
Pemberian informasi tentang
manfaat pemberian ASI eksklsif kepada masyarakat khususnya kaum perempuan untuk
mencegah terjadinya pemberian susu formula yang terlalu dini
b.
Pemberian informasi akan
pentingnya aktivitas olahraga rutin minimal 15 menit sehari
3.
Spesific protection
Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan secara
dini kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada beberapa
penyakit biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian imunisasi namun untuk
perkembangan sekarang, diabetes mellitus dapat dilakukan melalui :
a.
Pemberian penetral radikal bebas
seperti nikotinamid
b.
Mengistirahatkan sel-beta melalui
pengobatan insulin secara dini
c.
Penghentian pemberian susu formula
pada masa neonatus dan bayi sejak dini
d.
Pemberian imunosupresi atau
imunomodulasi
4. Early diagnosis and promp treatment
Early
diagnosis and prompt treatmen dilakukan sehubungan dengan upaya pendeteksian
secara dini terhadap individu yang nantinya mengalami DM dimasa mendatang
sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan sedini mungkin untuk mencegah
semakin berkembangnya risiko terhadap timbulnya penyakit tersebut. Upaya
sehubungan dengan early diagnosis pada DM adalah dengan melakukan :
a.
Melakukan skrining DM di
masyarakat
b.
Melakukan survei tentang pola
konsumsi makanan di tingkat keluarga pada kelompok masyarakat
5.
Disability limitation
Disability
limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah dampak lebih besar
yang diakibatkan oleh DM yang ditujukan kepada seorang yang telah diangap
sebagai penderita DM karena risiko keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang dapat
dilakukan adalah :
a.
Pemberian insulin yang tepat waktu
b.
Penanganan secara komprehensif
oleh tenaga ahli medis di rumah sakit
c.
Perbaikan fasilitas-fasilitas
pelayanan yang lebih baik
6.
Rehabilitation
Rehabilitation
ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan kembali pada individu yang telah
mengalami sakit. Pada penderita DM, upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan
adalah :
a.
Pengaturan diet makanan
sehari-hari yang rendah lemak dan pengkonsumsian makanan karbohidrat tinggi
yang alami
b.
Pemeriksaan kadar glukosa darah
secara teratur dengan melaksanakan pemeriksaan laboratorium komplit minimal
sekali sebulan
c.
Penghindaran atau penggunaan
secara bijaksana terhadap obat-obat yang diabetagonik
B.
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
Adapun Tahap
pencegahannya yaitu (Konsensus,2006):
1. Pencegahan
Primer
Pencegahan
primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok
risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya
harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait
seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya
pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak
masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya
kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya
mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita
DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit
kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes.
Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan
menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa, dan GIT. Skrinning
direkomendasikan untuk :
-
Orang-orang yang mempunyai
keluarga diabetes
-
Orang-orang
dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
-
Orang-orang
yang mempunyai gangguan vaskuler
-
Orang-orang yang gemuk
b. Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada
pengobatan diet dan pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat,
cukup dengan menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk
itu perlu dibantu dengan diet dan bergerak badan.
Pengobatan
dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik masih merupakan
pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan jasmani/kegiatan
fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral. Obat hipoglikemik
oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin
dari sel beta pancreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.
Tabel
2
Aktivitas
Obat Hipoglisemik Oral
Obat
|
Lamanya jam
|
Dosis lazim/hari
|
Klorpropamid
(diabinise)
|
60
|
1
|
Glizipid
(glucotrol)
|
12-24
|
1-2
|
Gliburid
(diabeta, micronase)
|
16-24
|
1-2
|
Tolazamid
(tolinase)
|
14-16
|
1-2
|
Tolbutamid
(orinase)
|
6-12
|
1-3
|
c. DIET
Diet
adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan yang masuk
harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari. Adalah
sangat penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara makanan
yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe II, cenderung
kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan hiperglikemia.
Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan berat badan.
(Hendrawan,2002).
1) Modifikasi dari faktor-faktor resiko
-
Menjaga
berat badan
-
Tekanan
darah
-
Kadar
kolesterol
-
Berhenti
merokok
-
Membiasakan diri untuk hidup
sehat
-
Biasakan
diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik yang
terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk
mencapai kebugaran.
- Hindari menonton televisi atau menggunakan
komputer terlalu lama, karena hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik
berkurang atau minim.
- Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau
snack dengan kandungan. garam yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan
kandungan kadar karbohidrat dan lemak tinggi.
- Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
3.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok
penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah
terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan
sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah
(80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang
sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya
rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal . Pencegahan
tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin
yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para
ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006).
C.
Penanggulangan
Diabetes Mellitus Tipe 2
Program
penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus di Indonesia
Tujuan
program pengendalian DM di Indonesia adalah terselenggaranya pengendalian
faktor risiko untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang
disebabkan DM. Pengendalian DM lebih diprioritaskan pada pencegahan dini
melalui upaya pencegahan faktor risiko DM yaitu upaya promotif dan preventif
dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Rachmadany,2010).
Program
pencegahan primer di Indonesia telah dilaksanakan oleh PT.Merck Indonesia Tbk
bekerja sama dengan Depkes RI dan organisasi profesi seperti Konferensi Kerja
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dan organisasi kemasyarakatan
seperti Persatuan Diabetes Indonesia
(PERSADI) dan Perhimpunan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI) yaitu program
bertajuk Pandu Diabetes dengan simbol Titik Oranye. Melakukan kegiatan-kegiatan
antara lain memberikan informasi dan edukasi mengenai Diabetes Mellitus dan
pemeriksaan kadar gula darah secara gratis bagi sejuta orang yang telah
diluncurkan oleh Menkes pada 15 Maret 2003. Mengingat penderita Diabetes
sangat rentan untuk terkena infeksi, hal ini juga merupakan salah satu cara
untuk mengurangi amputasi kaki akibat pekait Diabetes Mellitus(Rachmadany,2010).
Federasi
Diabetes Internasional (IDF) mengeluarkan pernyataan konsensus baru mengenai
pencegahan Diabetes Mellitus, menjelang resolusi Majelis Umum PBB pada bulan
Desember 2006 yang menghimbau aksi internasional bersama. Konsensus IDF baru
ini merekomendasikan bahwa semua individu yang berisiko tinggi terjangkiti
diabetes tipe-2 dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan oportunistik oleh
dokter, perawat, apoteker dan dengan pemeriksaan sendiri. Profesor George
Alberti, mantan presiden IDF sekaligus penulis bersama konsensus baru IDF
mengatakan: “Terdapat banyak bukti dari sejumlah kajian di Amerika Serikat,
Finlandia, Cina, India dan Jepang bahwa perubahan gaya hidup (mencapai berat
badan yang sehat dan kegiatan olahraga yang moderat) dapat ikut mencegah
berkembangnya diabetes tipe-2 pada
mereka yang beresiko tinggi. Konsensus baru IDF ini menganjurkan bahwa hal ini
haruslah merupakan intervensi awal bagi semua orang yang beresiko terjangkiti
diabetes tipe-2, dan juga fokus dari pendekatan kesehatan penduduk.” (Rachmadany,2010).
Pilar
Pengelolaan DM yaitu (Perkeni, 2006):
a.
Edukasi
Diabetes tipe II umumnya
terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh.
Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien,
keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi.
Edukasi tersebut meliputi
pemahaman tentang:
1)
Penyakit DM.
2)
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM.
3)
Penyulit DM.
4)
Intervensi farmakologis dan non farmakologis.
5)
Hipoglikemia.
6)
Masalah khusus yang dihadapi.
7)
Perawatan kaki pada diabetes.
8)
Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran
keterampilan.
9)
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Edukasi secara individual
atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan
perilaku yang berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama dengan proses edukasi
yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan
evaluasi.
b. Perencanaan
makanan
Biasanya pasien DM yang
berusia lanjut terutama yang gemuk dapat dikendalikan hanya dengan pengaturan
diet saja serta gerak badan ringan dan teratur. Perencanaan makan merupakan
salah satu pilar pengelolan diabetes, meski sampai saat ini tidak ada satu pun
perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien. Perencanaan makan harus
disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing individu. Yang dimaksud dengan
karbohidrat adalah gula, tepung, serat.
Faktor yang berpengaruh pada
respon glikemik makanan adalah cara memasak, proses penyiapan makanan, dan
bentuk makan serta komposisi makanan (karbohidrat, lemak, dan protein). Jumlah
masukan kalori makanan yang berasal dari karbohidrat lebih penting daripada
sumber atau macam karbohidratnya. Gula pasir sebagai bumbu masakan tetap
diijinkan. Pada keadaan glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk
mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5 % kebutuhan kalori.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1)
Karbohidrat 45 – 65%
2)
Protein
10 – 20 %
3)
Lemak
20 – 25 %
Makanan dengan komposisi
sampai 70 – 75% masih memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan
kolesterol disarankan < 300 mg/hari, diusahakan lemak berasal dari sumber
asam lemak tidak jenuh MUFA (Mono Unsurated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
(Poli Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan
serat ± 25 g / hari, diutamakan serat larut.
Jumlah kalori disesuaikan
dengan status gizi,umur , ada tidaknya stress akut, kegiatan jasmani. Untuk
penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa tubuh (IMT) dan rumus Broca.
Petunjuk Umum untuk Asupan Diet
bagi Diabetes:
1)
Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada
waktu makan.
2)
Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman
berkalori rendah lainnya pada waktu makan.
3)
Makanlah dengan waktu yang teratur.
4)
Hindari makan makanan manis dan gorengan.
5)
Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan.
6)
Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama
setiap makan.
7)
Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus.
8)
Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil.
9)
Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil
Tabel
3.
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
|
Lingkar
Perut
|
|
<90cm (Pria)
<80cm (Wanita)
|
>90cm (Pria)
>80cm
(Wanita)
|
|
|
Risk of
co-morbidities
|
|
BB Kurang
<18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0
:
-
Dengan
risiko : 23,0-24,9
-
Obes
I :
25,0-29,9
-
Obes
II : ≥ 30
|
Rendah
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berat
|
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berat
Sangat berat
|
Sumber :Perkeni,
2006
c. Latihan
Jasmani
Kegiatan jasmani sehari –
hari dan latihan jasmani teratur (3 – 4 kali seminggu selama kurang lebih
30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe II. Latihan
jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dimaksud ialahjalan, bersepeda santai, jogging, berenang.
Prinsip latihan jasmani yang
dilakukan:
1) Continous:
Latihan jasmani harus
berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti. Contoh:
Jogging 30 menit , maka pasien harus melakukannya selama 30 menit tanpa henti.
2) Rhytmical:
Latihan olah raga dipilih
yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, contoh
berlari, berenang, jalan kaki.
3) Interval:
Latihan dilakukan
selang-seling antar gerak cepat dan lambat. Contoh: jalan cepat diselingi jalan
lambat, jogging diselangi jalan.
4)
Progresive:
a)
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari
intensitas ringan sampi sedang selama mencapai 30 – 60 menit.
b)
Sasaran HR = 75 – 85 % dari maksimal HR.
c)
Maksimal HR = 220 – (umur).
5). Endurance:
Latihan daya tahan untuk
meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan jogging dan sebagainya. Latihan
dengan prinsip seperti di atas minimal dilakukan 3 hari dalam seminggu, sedang
2 hari yang lain dapat digunakan untuk melakukan olah raga kesenangannya. Olah
raga yang teratur memainkan peran yang sangat penting dalam menangani diabetes,
manfaat – manfaat utamanya sebagai berikut:
a)
Olah raga membantu membakar kalori karena dapat mengurangi
berat badan.
b)
Olah raga teratur dapat meningkatkan jumlah reseptor pada
dinding sel tempat insulin bisa melekatkan diri.
c)
Olah raga memperbaiki sirkulasi darah dan menguatkan otot
jantung.
d)
Olah raga meningkatkan kadar kolesterol “baik” dan
mengurangi kadar kolesterol “jahat”.
e)
Olah raga teratur bisa membantu melepaskan kecemasan stress,
dan ketegangan, sehingga memberikan rasa sehat dan bugar.
Petunjuk Berolah Raga Untuk Diabetes Tidak
Bergantung Insulin
a)
Gula darah rendah jarang terjadi selama berola raga dan
arena itu tidak perlu untuk memakan karbohidrat ekstra
b)
Olah raga untuk menurunkan berat badan perlu didukung dengan
pengurangan asupan kalori
c)
Olah raga sedang perlu dilakukan setiap hari. Olah raga
berat mungkin bisa dilakukan tiga kali seminggu
d)
Sangat penting untuk melakukan latihan ringan guna pemanasan
dan pendinginan sebelum dan sesudah berolah raga
e)
Pilihlah olah raga yang paling sesuai dengan kesehatan dan
gaya hidup anda secara umum
f)
Manfaat olah raga akan hilang jika tidak berolah raga selama
tiga hari berturut-turut
g)
Olah raga bisa meningkatkan nafsu makan dan berarti
juga asupan kalori bertambah. Karena itu sangat penting bagi anda untuk
menghindari makan makanan ekstra setelah berolah raga.
h)
Dosis obat telan untuk diabetes mungkin perlu dikurangi
selama olah raga teratur.
d. Intervensi Farmakologis
Apabila pengendalian
diabetesnya tidak berhasil dengan pengaturan diet dan gerak badan barulah
diberikan obat hipoglikemik oral. Di Indonesia umumnya OHO yang dipakai ialah
Metformin 2 – 3 X 500 mg sehari. Pada pasien yang mempunyai berat badan
sedang dipertimbangkan pemberian sulfonilurea.
Pedoman pemberian
sulfonilurea pada DM usia lanjut :
1) Harus waspada akan
timbulnya hipoglikemia. Ini disebabkan karena metabolisme sulfonilurea lebih
lambat pada usia lanjut, dan seringkali pasien kurang nafsu makan, sering
adanya gangguan fungsi ginjal dan hati serta pengaruh interaksi sulfonilurea
dengan obat-obatan lain.
2) Sebaiknya
digunakan digunakan sulfonyl urea generasi II yang mempunyai waktu paruh pendek
dan metabolisme lebih cepat.
3) Jangan
mempergunakan klorpropamid karena waktu paruhnya sangat panjang serta sering
ditemukan retensi air dan hiponatremi pada penggunaan klorpropamid. Begitu pula
bila ada komplikasi ginjal, klorpropamid yang kerjanya 24 – 36 jam tidak boleh
diberikan, oleh karena ekskresi obat sangat berkaian dengan fungsi ginjal.
Hipoglikemia akibat klorpamid dapat berlangsung lama, berbeda dengan
hipoglikemi karena tolbutamid.
4) Sulfonilurea
dengan kerja sedang ( seperti glibenklamid, glikasid), biasanya dosis
awal setengah tablet sehari, kalau perlu dapat dinaikkan 1 – 2 kali sehari.
5) Dosis oral pada
umumnya bila dianggap perlu dapat dinaikkan tiap 1 – 2 minggu. Untuk mencegah
hipoglikemia pada pasien tua lebih baik tidak memberikan dosis maksimum.
6) Kegagalan sekunder
dapat terjadi setelah penggunan OHO beberapa lama. Pada kasus sperti ini
biasanya dapat dicoba kombinasi OHO dengan insulin atau langsung diberikan
insulin saja.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah pankreas dapat menghasilkan
cukup jumlah
insulin untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk
memanfaatkan secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah
meningkat. Dalam
patofisiologi diabetes melitus tipe 2, dimulai dengan gangguan fase earlypeak yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase sekresi insulin dimulai
20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak,
tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang
normal di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin.
Gambaran klini terjadinya DM tipe 2 ini yaitu melalui keluhan klasik seperti penurunan berat badan, banyak kencing, banyak minum, banyak makan. adapun keluhan lain yang terjadi yaitu gangguan saraf tepi / kesemutan, gatal / bisul, gangguan ereksi dan keputihan.
dalam menegakkan diagosis dm dapat dilakukan berdasarkan cara pelaksanaan TTGO
menurut WHO 1985.
Faktor risiko DM tipe 2 seperti genetik, usia,
stres, minim gerak, pola makan yang salah, dan obesitas. Pencegahannya
dilakukan pada tiga level, yaitu primer berupa penyuluhan pada faktor risiko;
sekunder berupa diagnosis dini (skirning), pengobatan, dan diet; tersier berupa
tindakan rehabilitatif untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Adapun strategi penanggulangan DM yaitu primordial prevention,
health promotion, spesific protection, early diagnosis and prompt treatmen, disability
limitation dan rehabilitation. Tindakan penanggulangan
iaalah pengendalian DM yang lebih diprioritaskan pada pencegahan dini melalui
upaya pencegahan faktor risiko DM seperti upaya promotif dan preventif dengan
tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Dan adapun faktor
penanggulangan Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu melalui Edukasi, Perencanaan
Makan, Aktivitas fisik dan Pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi , Bayu.T1, Rodiyatul F. S. dan Hermansyah,2011.
An Early Detection Method of Type-2
Diabetes Mellitus in Public Hospital. Telkomnika, Vol.9, No.2, August 2011,
pp. 287~294.
Agustina, Tri ,2009.Gambaran Sikap Pasien Diabetes Melitus Di Poli Penyakit Dalam Rsud
Dr.Moewardi Surakarta Terhadap Kunjungan Ulang Konsultasi Gizi. KTI D3.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Indraswari,
Wiwi.2010. Hubungan
Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan Kadar
Glukosa Darah Pada
Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di
Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi , Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Isniati,
2003, Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Diabetes Militus Dengan
Keterkendalian Gula Darah Di Poliklinik Rs Perjan Dr. M. Djamil Padang Tahun.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, September
2007, I (2).
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 .2006. http://penyakitdalam.files.wordpress.com/2009/11/konsensus-pengelolaaln-dan-pencegahan-diabets-melitus-tipe-2-di-indonesia-2006.pdf
Mohjuarno.2009.
Makalah Kontenporer Konsentrasi Epidemiologi Pasca Sarjana: Penanggulangan
Diabetes Melitus. Makassar :Universitas Hasanuddin.
Murwani,
Arita dan Afifin Sholeha, 2007. Pengaruh Konseling Keluarga Terhadap Perbaikan
Peran Keluarga Dalam Pengelolaan Anggota Keluarga Dengan Dm Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kokap I Kulon Progo 2007. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. Ilmu Keperawatan Stikes Surya
Global Yogyakarta.
Nadesul, Hendrawan. 2002. 428 Jawaban untuk 25
Penyakit Manajer dan Keluhan-keluhan Orang Mapan. Kompas.
Perkeni.2011. Empat Pilar
Pengelolaan Diabetes.[online].
(diupdate 11 November 2011). http://www.smallcrab.com/ .[diakses 20 November 2011].
Rakhmadany, dkk.
2010. Makalah Diabetes Melitus. Jakarta : Universitas Islam Negeri
Shahab,
Alwi,2006.Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Disarikan
Dari Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia : Perkeni 2006).Subbagian
Endokrinologi Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fk Unsri/ Rsmh Palembang,
Palembang.
Tjeyan, Suryadi R.M, 2007.Risiko Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Kalangan Peminum Kopi Di
Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007. Department Of
Public Health And Community Medicine, Medical Faculty, Sriwijaya University,
Palembang 30126, Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 2,
Desember 2007: 54-60 Hal 54.
Waspadji,
Sarwono dkk., 2009. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta:
FKUI.
WHO, 1999. Defenition,
Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus and Its Complication.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar